Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.
Sejarah Trias Politika
Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?
Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.
Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Contact us if you have any question or anything else
Seta Basri Menulis Terus © 2011 DheTemplate.com. Supported by Tips for Life and Blogging Tips
Kunjungi www.tri-falaq-tunggallistik.com
Makasih Kepada Seta Bisri Tlg samapiakan kabar ini kepda para pejuang keadilan dan kebenaran ......wasalam...
setahu saya negara kita adalah penganut sistem trias politika, yang seingat saya kesimpulanya seperti yang bapak paparkan hanya saya tidak mengenal lebih jauh tentang pemikir beserta tokoh-tokohnya. yang menjadi keprihatinan saya mengapa dalam aplikasinya lembaga exekutif negara ikut campur dalam urusan yudikatif dan parahnya setelah ikut terbenam lebih dalam di lembaga yudikatif lembaga exekutif tersebut terkesan ingin lepas tangan/cuci tangan dan dengan menutup kasus-kasus yudikatif yang semakin meruncing dan membuat masyarakat bertambah resah. (berkesan melarikan diri dan takut dipermasalahkan). lembaga-lembaga yang lain pun terkesan tidak berfungsi terutama lembaga legeslatifnya. saya sekarang menjadi bingung sebenarnya kita masih menganut trias politika atau tidak. semoga bapak dapat memberikan info atau penjelasan terhadap saya.
JohanesKK@comcast.net
salam
nibina
saya harap agar trias Politicka tersebut agar lebih di ringkas
terima kasih
salam
Anggreni silalahi
Menurut Montesquieu: 1.Legislatif (pembuat undang-undang, 2.Eksekutif (pelaksana undang-undang), dan 3.Yudikatif (pengawas jalannya pelaksanaan negara). Konsep Montesquieu ini banyak berlaku di negara-negara demokrasi saat ini (mainstream).
bisa tlg di jawab pertanyaan itu?
terima kasih..
Konsep trias politika merupakan sebuah konsep Barat. Ia lahir, awalnya, akibat keinginan kaum bangsawan dan pemilik modal di Eropa Barat untuk membatasi kekuasaan raja. Kehendak ini nyata dalam filsafat politik John Locke.
Konsep trias politika yang kini mainstream di dunia adalah yang versi Montesquieu. Indonesia, segera setelah merdeka 17081945, menganut pemisahan kekuasaan ala Montesquieu. Tentu saja sedikit perbedaan ada.
Montesquie menghendaki pemisahan yang zakelijk, ketat. Sementara banyak negara-negara di dunia, utamanya di negara dengan demokrasi yang belum mapan (seperti Indonesia), trias politika yang berlaku bukan "pemisahan" tetapi "pembagian." Ini yang mengentara di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno 1959-1966 dan Demokrasi Pancasila Suharto 1971-1998.
Presiden adalah eksekutif, yang mendistribusikan kekuasaan baik kepada Yudikatif (Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan di bawahnya) serta Legislatif (pengangkatan anggota parlemen). Dengan itu saja, presiden hadir selaku lembaga eksekutif yang superior ketimbang dua lembaga trias politika lainnya.
Pasca transisi politik 1998-sekarang, kembali Indonesia ---lewat Demokrasi Liberal--- mencoba kembali ke pemahaman trias politika menurut Montesquieu. Pada intinya, trias politika adalah tradisi politik yang cukup baru bagi sistem politik Indonesia. Bukankan Indonesia baru merdeka tahun 1945?
Demikian jawaban saya. Atau, anda punya pendapat lain?
- kelebihan: tidak ada lembaga politik yang lebih tinggi dari lainnya sehingga satu sama lain bisa saling mengkoreksi dan mengimbangi.
- kekurangan: jika diterapkan di negara yang tradisi demokrasinya belum mapan, maka konsensus politik sulit dicapai karena masing-masing merasa 'paling berkuasa'
Trias Politika tidak murni (maksudnya bukan pemisahan tapi pembagian kekuasaan):
- kelebihan: ada satu lembaga yang lebih dominan ketimbang lembaga lainnya yang bisa mengatasi kebuntuan politik.
- kekuarangan: lembaga yang dominan tidak lepas dari hukum power tends to corrupt
Sebagai sebuah konsep, gagasan Montesquieu tidaklah mulus di kenyataan. Karena masing-masing kekuasaan terpecah dan terkonsentrasi di tiga lembaga, maka masing-masing lembaga menjadi "kelompok" yang bersaing satu sama lain. Robert Michels misalnya, menyatakan adanya Hukum Besi Oligarki di kalangan partai-partai politik. Partai politik adalah cikal-bakal kuasa legislatif di parlemen. Bagi Michels partai-partai politik itu lambat-laun menjauh dari kepentingan massa pemilih untuk kemudian hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan diri mereka sendiri. Jika dikembangkan, maka Hukum Besi Oligarki ini juga bisa melanda lembaga eksekutif pun yudikatif. Akibatnya, tiga jenis kekuasaan semakin memisah, bersaing, dan keterpaduan penyelenggaraan negara tersekat. Masing-masing kekuasaan membangun power block untuk kepentingan diri mereka masing-masing. Itu eksesnya.
mau nanya lagi, berikan uraian tentang posisi buruh atau pekerja dalam sistem perekonomian yang demokratis?
apakh jawabannya ini : mereka harus ikut menikmati keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi itu dengan memperoleh jaminan hidup yang layak. dengan demikian akan tercipta kesejahteraan rakyat.
tolong di jawab ya, makasih banyak ..
kalau ini, " tunjukan bahwa praktik-praktik demokrasi sesungguhnya telah berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat desa di indonesia?"
apkh jwbnya ini:
-dalam tradisi kehidupan bangsa indonesia di berbagai dareah dikenal adanya kelompok2 masyrakat yg disebut kaum.
-dalam tradisi masyarakat di indonesia sangat dikenal adanya kebiasaan musyawarah.
karena tidak sesuai dngan prinsip demokrasi .
apakah betul ?
makasih :)
Dalam bidang pendidikan, misalnya. Sejumlah sekolah di Perancis juga Belanda memiliki rekam jejak pelarangan penggunaan jilbab bagi muslimah (jika bukan tidak menerimanya) kendati muslimah tersebut notabene warga negaranya sendiri. Perancis dan Belanda tidak kurang menyebut dirinya negara demokrasi. Terlebih, bila kasus diskriminasi serupa kita telusuri di negara paling 'demokratis' di Timur Tengah, Israel. Kasus serupa tidak kurang banyaknya.
Demikian contoh kecil dari saya. Semoga bermanfaat.
thks
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/legislatif-di-indonesia.html
Semoga bermanfaat.
terima kasih atas jawaban dan kesempatanya.:)
Otonomi yang berlebihan setiap badan paling kentara di negara-negara yang ada dalam proses menuju demokrasi liberal (dalam kondisi demokrasi transisional). Di Indonesia sebagai misal, DPR bersikap "asal kontra", presiden "tumpul dalam eksekusi", mahkamah "mengalami disorientasi." Ini merupakan ekses trias politika. Padahal, sekali lagi, dalam trias politika, kondisi yang diharapkan terjadi adalah "check and balances" bukan dominated. Trias politika sendiri lahir dari hubungan konfliktual antara kaum bangsawan dengan raja. Trias politika adalah produk solutif atas konflik, suatu upaya mencapai equilibrium.
Sama-sama. Semoga bermanfaat.
jawab yuaahhh ;)
Demikian. Semoga bermanfaat.
jaysunmubarrok.blogspot.com
Demikian. Semoga bermanfaat.
Namun, secara kualitatif, desentralisasi yang diberikan diiringi adanya mekanisme Pilkada. Pilkada ini dilakukan di sepanjang masa administrasi seorang presiden terpilih (5 tahun). Pilkada pun berjenjang dari Dati I hingga Dati II. Masalahnya, problem eksistensi mengemuka. Kerap terjadi kompetisi ketimbang koordinasi kerja antara pimpinan daerah dengan pimpinan pusat. Penetrasi UU yang harus dilakukan pusat (berikut penerapan PP hingga Kepmen) menjadi "alot" ke daerah. Di sisi lain, budaya politik yang berkembang di kalangan pelaku pimpinan daerah (juga DPRD) masih berat bobot "parokialis" nya. Studi kasus untuk ini (sedikit diantaranya) dapat dilihat dalam masalah e-ktp. Begitu berlarut-larutnya proses ini: Pusat berjalan dengan asumsinya sendiri, daerah berjalan dengan asumsinya sendiri.
Mungkin ini tanggapan saya. Semoga bermanfaat.
Sama-sama. Semoga bermanfaat.
mohon jawabannya.terimakasih
Demikian. Semoga bermanfaat.
Bagaimanakah penerapan Trias Politika mulai berdirinya Indonesia sampai sekarang ? & Bagaimanakah penerapan demokrasi di Indonesia berkaitan dengan suprastruktur dan infrastruktur politik?
Secara umum, trias politika sudah termaktub di dalam UUD 1945, dengan adanya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, dalam pelaksanaannya terjadi sejumlah "autogolpe" (salah satu lembaga yang sah, mendominasi lembaga sah lainnya, dalam konfigurasi kepolitikan yang sah, kerap dengan dukungan angkatan bersenjata). Autogolpe pertama terjadi di era Demokrasi Terpimpin, dengan mana Presiden Sukarno dengan dukungan Jenderal Nasution mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan badan legislatif (konstituante) untuk kemudian memerintah sebagai lembaga paling dominan dalam trias polika (eksekutif). Autogolpe kedua terjadi 1980-an dengan mana Presiden Suharto (tentu dengan dukungan kelompok militer) setelah mengompres parpol dan mengintroduksi 5 paket UU Politik yang mengatur bahwa keanggotaan legislatif harus "memiliki izin" dari eksekutif. Kini, pasca 1998 doktrin trias politika kembali dipurifikasi, yang menghebat dengan 4 kali amandemen atas UUD 1945. Namun, seperti ditulis oleh komentar pada Rabu, 12 Juni 2013, tampaknya lembaga legislatif cenderung dominan. Dominasi ini menampakkan diri tatkala Pemilu pasca reformasi tidak pernah menghasilkan mayoritas dominan dalam parlemen (pemenang pemilu yang menduduki eksekutif "terpaksa" harus berkoalisi). Koalisi ini kerap tidak konsisten, mengakibatkan perdebatan "berlebihan" di parlemen, sehingga membuat kebijakan eksekutif (eksekusi undang-undang) kerap kali terhambat dan harus super akomodasionis. Contoh, dalam niat eksekutif menaikkan BBM pada Juni 2013, yang tidak kunjung jelas yang salah satunya (mungkin) diakibatkan salah satu anggota koalisinya menolak.
Suprastruktur ada di level lembaga politik negara seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Infrastruktur misalnya pers, ormas, kelompok-kelompok kepentingan, demografi, dimensi ekologi nasional, dan pengaruh asing. Dalam penerapan demokrasi kita saat ini, infrastruktur-lah yang lebih menentukan jalannya arah kebijakan negara.
Demikian. Semoga bermanfaat.
mau minta bantuan ny dunk cz lg ad tugas kuliah nie:
1. jelaskan 3 politik hukum yg ada di lembaga legislatif, eksekutif dan yudukatif..??
2. jelaskan hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam politik hukum
Untuk legislatif, dirinci mengenai peran MPR (pasal 2 dan 3); DPR (pasal 20 - 22b); dan DPD (22c dan 22d). Untuk eksekutif, dirinci mengenai peran Presiden (pasal 5). Untuk yudikatif dirinci peran MA (pasa 24a ayat 1) dan MK (pasal 24c ayat 1).
Mengenai hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam politik hukum dirinci dalam pasal 5 dimana presiden berhak mengajukan uu kepada DPR dan menetapkan perppu. Rincian lainnya ada di pasal 20.
Demikian tanggapan dari saya. Semoga bermanfaat.
1. Secara hakiki, demokrasi murni konsep trias politica dalam pandangan islam seperti apa ?
2. kelebihan dan kekurangan konsep trias politica dalam pandangan islam seperti apa ?
2. Kembali, dalam konsep trias politika yang digagas Locke dan Montesquieu, penekanannya antroposentris. Sehingga legislasi, eksekusi, dan yudikasi suatu kebijakan dapat terjebak ke dalam wilayah "abu-abu", gamang antara yang "halal" dan yang "haram". Misalnya dalam legislasi legalisasi minuman keras. Apabila dari kacamata Islam jawabannya adalah tegas yaitu: Tidak. Jawaban ini diturunkan dari Al Qur'an dan sunnah dalam bentuk syariat Islam. Namun, secara antroposentris terdapat "bargaining". Misalnya, legalisasi "terbatas". Sehingga eksekutif pun ikut terpengaruh: Minuman keras justru dijual secara umum. Dampaknya sikap standar ganda: Di satu sisi minuman keras dijual dan bahkan dapat dibeli anak belasan tahun, di sisi lain penangkapan penjual terus berlangsung. Yudikatif pun menderita hal serupa. Di sinilah letak kelebihan dari "konstitusi" Islam yaitu konsep adil. Adil demi kemaslahatan umum.
Untuk sumber yang menjelaskan pandangan Islam atas demokrasi dan segala aspeknya, dapat ditelusuri pada:
Sayed Khatab and Gary D. Bouma, Democracy in Islam (Oxon: Routledge, 2007).
Demikian tanggapan dari saya. Semoga bermanfaat.
tolong penjelasan nya pak.
Pasca reformasi politik 1998, konsep yang dikonstitusikan adalah Pemisahan Kekuasaan. Dalam periode ini eksekutif didistribusikan kekuasaannya langsung oleh rakyat lewat Pemilu. Demikian pula untuk legislatif. Yudikatif diseleksi oleh sebuah komisi khusus (Komisi Yudisial) yang berasal dari elemen rakyat. Penentuan finalnya oleh legislatif dan eksekutif, tetapi sekadar seremoni karena tidak boleh di luar dari yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Eksekutif tidak bisa menjatuhkan Legislatif. Legislatif "bisa saja" menjatuhkan Eksekutif tetapi lewat prosedur panjang dan melelahkan yang bahkan akan menyita waktu 1 periode pemerintahan Eksekutif. Yudikatif tidak bisa dijatuhkan baik oleh Eksekutif maupun Legislatif.
Demikian tanggapan dari saya. Semoga bermanfaat.